Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang dimuka bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan berlaku secara alami. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan itu semakin mantap. Semuanya itu pasti ada sebab- musababnya, dan muara yang terakhir adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang mengatur semuanya ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang ada.
Kendati kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada sesuatu, namun percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak sekali kegiatan yang kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari hanyalah berdasarkan kepercayaan saja. Setiap hari kita mneyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Demikian pula adanya bulan dan bintang yang hadir di langit dengan teratur. Belum lagi oleh adanya berbagai mahluk hidup dan hal-hal lain yang dapat menjadikan kita semakin tertegun menyaksikannya. Adanya pergantian siang menjadi malam, adanya kelahiran, usia tua, dan kematian, semuanya ini mengantarkan kita harus percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan, maka dengan agama pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada satu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan, yang merupakan sumber dari semua yang ada dan yang terjadi. Kepada-Nya-lah kita memasrahkan diri, karena tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali. Keimanan kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan agama Hindu.
Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sraddha, yaitu percaya adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi), percaya adalanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/Samsara) dan percaya adanya Moksa.
Percaya adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi)
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda (Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai berikut:
Etadyonini bhutani
sarvani ty upadharaya
aham kristnasya jagatah
prabhavah pralayas tatha. (BG. VII.6)
Ketahuilah, bahwa semua insani mempunyai sumber-sumber kelahiran disini, Aku adalah asal mula alam semesta ini demikian pula kiamat-kelaknya nanti.
Aham atma gudakesa
sarva bhutasaya sthitah
aham adis cha madhyam cha
bhutanam anta eva cha. (BG.X.20)
Aku adalah jiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai Gudakesa. Aku adalah permulaan, pertengahan dan penghabisan dari mahluk semua.
yach cha pi sarvabhutanam
bijam tad aham arjuna
na tad asti vina syan
maya bhutam characharam. (BG. X.39)
Dan selanjutnya apapun, oh Arjuna, aku adalah benih dari segala mahluk, tidak ada sesuatupun bisa ada, bergerak atau tidak bergerak, tanpa aku.
Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah "telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata", namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Di dalam Bhuana Kosa disebutkan sebagai berikut:
"Bhatara Ciwa sira wyapaka
sira suksma tan keneng angen-angen
kadiang ganing akasa tan kagrahita
dening manah muang indriya".
Artinya:
Tuhan (Ciwa), Dia ada di mana-mana, Dia gaib, sukar dibayangkan, bagaikan angkasa (ether), dia tak dapat ditangkap oleh akal maupun panca indriya.
Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini.
"Sahasrasirsa purusah sahasraksah sahasrapat,
sa bhumim visato vrtva tyatistad dasangulam". (Rg Veda X.90.1)
Tuhan berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, Ia memenuhi bumi-bumi pada semua arah, mengatasi kesepuluh penjuru.
Seribu dalam mantra Rg Veda di atas berarti tak terhingga. Tuhan berkepala tak terhingga, bermata tak terhingga, bertangan tak terhingga. Semua kepala adalah kepa_Nya, semua mata adalah mata-Nya, semua tangan adalah tangan-Nya. Walaupun Tuhan tak dapat dilihat dengan mata biasa, tetapi Tuhan dapat dirasakan kehadirannya dengan rasa hati, bagaikan garam dalam air. Ia tidak tampak, namun bila dicicipi terasa adanya disana. Demikian pula seperti adanya api di dalam kayu, kehadirannya seolah-olah tidak ada, tapi bila kayu ini digosok maka api akan muncul.
Eko devas sarva-bhutesu gudhas
sarva vyapi sarwa bhutantar-atma
karmadyajsas sarvabhutadhivasas
saksi ceta kevalo nirgunasca. (Svet. Up. VI.11)
Tuhan yang tunggal sembunyi pada semua mahluk, menyusupi segala, inti hidupnya semua mahluk, hakim semua perbuatan yang berada pada semua mahluk, saksi yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas apapun.
Karena Tuhan berada di mana-mana, ia mengetahui segalanya. Tidak ada sesuatu apapun yang ia tidak ketahui. Tidak ada apapun yang dapat disembunyikan kepada-Nya. Tuhan adalah saksi agung akan segala yang ada dan terjadi. Karena demikian sifat Tuhan, maka orang tidak dapat lari kemanapun untuk menyembunyikan segala perbuatannya. Kemanapun berlari akan selalu berjumpa dengan Dia. Tidak ada tempat sepi yang luput dari kehadiran-Nya.
Yas tisthati carati yasca vancanti
Yo nilayam carati yah pratamkam
dvatu samnisadya yanmantrayete
raja tad veda varunas trtiyah (A.W. IV.16.2)
Siapapun berdiri, berjalan atau bergerak dengan sembunyi-sembunyi, siapaun yang membaringkan diri atau bangun, apapun yang dua orang duduk bersama bisikan satu dengan yang lain, semuanya itu diketahui oleh Tuhan (Sang Raja Alam Semesta), ia adalah uyang ketiga hadir di sana.
Kendatipun Tuhan itu selalu hadir dan meresap di segala tempat, tetapi sukar dapat dilihat oleh mata biasa. Indra kita hanya dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan. Kemampuannya terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi) adalah Maha Sempurna dan tak terbatas.
Di dalam Weda disebutkan bahwa Tuhan (Hyang Widhi) tidak berbentuk (nirupam), tidak bertangan dan berkaki (nirkaram nirpadam), tidak berpancaindra (nirindryam), tetapi Tuhan (Hyang Widhi) dapat mengetahui segala yang ada pada mahluk. Lagi pula Hyang Widhi tidak pernah lahir dan tidak pernah tua, tidak pernah berkurang tidak juga bertambah, namun Beliau Maha Ada dan Maha Mengetahui segala yang ada di alam semesta ini. Tuhan berkuasa atas semua dan Tunggal atau Esa adanya.
Yoccitdapo mahina paryapacyad
daksam dadhana janayantiryajnam
Yo deweswadhi dewa eka asit
kasmai dewaya hawisa widhema. (R.W.X.121.8)
Siapakah yang akan kami puja dengan segala persembahan ini? Ia Yang Maha Suci yang kebesaran-Nya mengatasi semua yang ada, yang memberi kekuatan spiritual dan yang membangkitkan kebaktian, Tuhan yang berkuasa. Ia yang satu itu, Tuhan di atas semua.
ya etam devam ekavrtam veda
na dwitya na trtiyas cateutho napyucyate,
na pancamo na sasthah saptamo napyucyate,
nasthamo na navamo dasamo napyucyate,
sa sarvasmai vi pasyati vacca pranati yacca na,
tam idam nigatam sahah sa esa eka ekavrd eka eva,
sarve asmin deva ekavrto bhavanti. (A.V.XIII.4)
Kepada ia yang mengetahui ini Tuhan semata-mata hanya tunggal. Tidak ada yang kedua, ketiga, keempat Ia dipanggil. Tidak ada yang kelima, keenam, ketujuh, Ia dipanggil. Tidak ada yang kedelapan, kesembilan Ia dipanggil. Ia melihat segala apa yang bernafas dan apa yang tidak bernafas. Kepada-Nya-lah tenaga penakluk kembali. Ia hanya tunggal belaka. Padanya semua dewa hanya satu saja.
Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun ia hanya satu, Tunggal adanya.
"Ekam eva advityam Brahma" (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
"Eko Narayanad na dvityo "Sti kaccit" (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
"Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa" (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
"Idam mitram Varunam
agnim ahur atho
divyah sa suparno garutman
Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim
yamam matarisvanam ahuh. (R.W.I. 1964.46)
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang Bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, Satu Itu (Tuhan), sang bijaksana menyebut dengan banyak nama, seperti Agni, Yama Matarisvam.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia maha tahu, berada dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
Percaya adanya Atman
Atman adalah percikan
kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/Brahman). Atman di dalam badan
manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman
dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang
mengemudikan dan kreta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi
sarva prani (mahluk) di alam semesta ini.
"Angusthamatrah Purusa ntaratman
Sada jananam hrdaya samnivish thah
Hrada mnisi manasbhikrto
yaetad, viduramrtaste bhavanti". (Upanisad)
Ia
adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil,
yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran,
mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.
Satu That yang bersembunyi dalam setiap mahluk yang menghidupi
semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari semua perbuatan
pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal. Demikianlah Atman
merupakan percikan-percikan kecil dari paramatman (Tuhan) yang berada di
setiap mahluk hidup. Atman adalah bagian dari pada Tuhan, bagaikan
titik embun yang berasal dari penguapan air laut, karena ada pengaruh
dari suatu temperatur tertentu. Seperti halnya juga percikan-percikan
sinar berasal dari matahari, kemudian terpencar menerangi segala pelosok
alam semesta ini. Atau dapat diumpamakan Hyang Widhi (Brahman/Tuhan)
adalah sumber tenaga lsitrik yang dapat menghidupkan bola lampu besar
atau kecil dimanapun ia berada. Bola lampu disini dapat diumpamakan
sebagai tubuh setiap mahluk dan aliran listriknya adalah Atman.
Oleh
karena Atman itu merupakan bagian dari Brahman/Hyang Widhi, maka Atman
pada hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan sumbernya, yakni Brahman
itu sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal abadi, tidak mengalami
kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan duka. Menurut Weda
(Bh.G.23,24 dan 25), sifat-sifat Atman dinyatakan sebagai berikut:
Nai nam Chindanti sastrani
nai nam dahati pavakah
na soshayati marutah (Bh.G.II.23)
Senjata
tidak dapat melukai Dia, dan api tidak dapat membakarnya, angin tidak
dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa membasahinya.
achchhedyo "yam adahyo yam
akledyo soshya eva cha
nityah sarvagatah sthnur
achalo yam sanatanah. (Bh. G. II.24)
Dia
tak dapat dilukai, dibakar, juga tidak dikeringkan dan dibsahi, Dia
adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap selama-lamanya.
Avyakto yam achityo yam
avikaryo yam uchyate
tasmad evam viditvai nam
na nusochitum arhasi (Bh.G.II.25)
Dia
dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat dipikirkan, tidak
berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya jangan
berduka.
Yang dimaksud "Dia" dan "Nya" dalam sloka di atas
adalah Atman itu sendiri. Dia mengatasi segala elemen materi, kekal
abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu Atman (Jiwatman) tidak
dapat menjadi subyek ataupun obyek daripada perubahan-perubahan yang
dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena semua
bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi
jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya.
Dari uraian sloka di
atas, ada beberapa sifat atman yang penting di sini adalah: Achodya (tak
terlukai oleh senjata). Adahya (tak terbakar oleh api), Akledya (tak
terkeringkan oleh angin), Acesyah (tak terbasahkan oleh air), Nitya
(abadi), Sarvagatah (dimana-mana ada), Sthanu (tak berpindah-pindah),
Acala (tak bergerak), Sanatana (selalu sama), Awyakta (tak terlahirkan),
Achintya (tak terpikirkan), dan Awikara (tak berubah dan sempurna tidak
laki-laki atau perempuan).
Perpaduan Atman dengan badan
jasmani, menyebabkan mahluk itu hidup. Atman yang menghidupi badan
disebut Jiwatman. Pertemuan Atman dengan badan jasmani ini menyebabkan
Dia terpengaruh oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan awidya
(kegelapan). Jadi manusia lahir dalam keadaan awidya, yang menyebabkan
ketidak sempurnaannya. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu
sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup
dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun Atman tidak
akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan Atman tetap
kekal abadi.
Vasamsi jirnani yatha vihaya
navani grihnati naro parani
tahta sartrahi vihaya jirmany
anyani samyati navani dehi (Bh.G.II.22)
Ibarat
orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya dengan yang
baru, demikian jiwa meninggalkan badan tua dan memasuki jasmani yang
baru.
Jiwatman yang terbelengu berpindah dari satu badan ke
badan yang lain. Setiap kelahirannya membawa badan, hidup dan pikiran
yang terbentuk dari pada prakerti menurut evolusinya dimasa yang lalu
dan kebutuhannya dimasa yang akan datang. Apabila badan jasmani yang
menjadi tua dan hancur, maka alam pikiran sebagai pembalut jiwa
merupakan kesadaran baginya untuk berpindah-pindah dari satu badan ke
badan yang lain yang disebut reinkarnasi atau phunarbhawa sesuai dengan
karmaphalanya (hasil perbuatannya di dunia). Karena itu Atman tidak akan
selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu ke Paramaatman. Orang-orang
yang berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan yang berbuat buruk akan
jatuh ke Neraka. Di Neraka Jiwatman itu mendapat siksaan sesuai dengan
hasil perbuatannya. Karena itulah penjelmaan terus berlanjut sampai
Jiwatman sadar akan hakekat dirinya sebagai Atman, terlepas dari
pengaruh awidya dan mencapai Moksa yaitu kebahagiaan dan kedamaian yang
abadi serta kembali bersatu kepada asalnya.
Percaya adanya Hukum Karmaphala
Segala gerak
atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk,
benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu
disebut "Karma". Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal
dari kata "Kr" (bahasa sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat.
Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat
akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan
menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah
yang disebut dengan Hukum Karma Phala.
Di
dalam Weda disebutkan "Karma phala ika palaing gawe hala ayu", artinya
karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau
karma (Clokantra 68).
Hukum
karma ini sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap baik buruknya
segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang
dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu
hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap orang berbuat
baik (subha karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya
itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka
keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima.
Phala
atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan
atau dinikmati. Tangan yang menyentuh es akan seketika dingin, namun
menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa memetik hasilnya.
Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada
bekas dalam angan dan ada yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan
yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan
sekarang maka akan ia terima setelah di akherat kelak dan ada kalanya
pula akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
Dengan
demikian karma phala dapat digolongkan menjadi 3 macam sesuai dengan
saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu Sancita Karma Phala,
Prarabda Karma Phala, dan Kriyamana Karma Phala.
1.Sancita Karma Phala:
Hasil
perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati
dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang.
2.Prarabda Karma Phala:
Hasil perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi;
3.Kriyamana Karma Phala:
Hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Jadi
adanya penderitaan dalam kehidupan ini walaupun seseorang selalu
berbuat baik, hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita
karma), terutama yang buruk yang harus ia nikmati hasilnya sekarang,
karena pada kelahirannya terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya
seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya sekarang dan nampaknya ia
hidup bahagia, hal itu disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu
baik, namun nantinya ia juga harus menerima hasil perbuatannya yang
buruk yang ia lakukan pada masa kehidupannya sekarang ini.
Tegasnya,
bahwa cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala
hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan
hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa 3), dinyatakan sebagai
berikut: "Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan
didunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada
kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk.
Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan
menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan
kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci
bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat
pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya
dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia
mewarnai Atman."
Ada
penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan itu, pasti
ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau
penderita tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari
hasil perbuatannya, apakah baik ataupun buruk, sehingga seseorang
tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih
baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali
nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan tanggungjawabnya. Ini
harus disadari, bahwa penderitaan disaat ini adalah akibat dari
perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau.
Namun kita harus sadar pula bahwa suatu saat penderitaan itu akan
berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat baik. Perbuatan baik
yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik sekarang
maupun pada masa yang akan datang.
Jelasnya
dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain
karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami
kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu
diingat, bahwa hukum karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan phala
dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan
Hukum Karma.
"Asing sagawenya dadi manusa,
ya ta mingetaken de Bhetara Widhi,
apan sira pinaka paracaya Bhatara
ring cubhacubha karmaning janma". (Wrhaspati Tattwa 22)
Segala
(apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua)
itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia
sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia.
"Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama
sang kumayatnaken cubhacubha prawrti
sekala janma". (Agastya Parwa 355.15)
Bhatara
Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah
pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan
manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar
terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Jadi
segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja
di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak,
yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari
badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan
datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau
wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman
(roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang
berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan oleh Hyang Widhi
ini bersendikan pada keadilan.
Pengaruh
hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak
manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia
di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada Atman (roh) yang selalu
melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin
bertambah merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
"Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh,
Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam naramarane." (Clokantara 40.13-14)
Dewa
neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi
ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi
burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring.
(serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat
membahayakan manusia.
Demikianlah
kenerakaan yang dialami oleh Atman (roh) yang selalu berbuat jahat
(dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah sampai
pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi
dasar terbawah dari kawah neraka.
Percaya Adanya Punarbhawa/Reinkarnasi/Samsara.
Punarbhawa
berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan
kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa
"Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang
lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa
akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena
Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti
oleh kelahiran".
Punarbhawa
berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan
kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa
"Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang
lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini
membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh
karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan
diikuti oleh kelahiran". Demikian pula disebutkan:
Sribhagavan uvacha,
bahuni me vyatitani,
janmani tava cha rjuna,
rani aham veda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5)
Sri
Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian
pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri
tidak,. Parantapa.
Atman
yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh
adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia
belum bisa kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang
Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara
berulang-ulang.
Segala
bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan yang
lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana
(bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya
bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang
ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali.
Karmabhumiriya brahman,
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab
sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu
juga akhirnya dinikmatilah karma phala itu. Artinya baik buruk
perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti hasilnya. Selesai
menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karma phala.
Wasana berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang
tinggal bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari
tingkatan sorga maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik
ataupun buruk yang dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu
apapun, oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan-perbuatan
baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga.
Karma
dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama
lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang
meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku.
Sedangkan punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma itu yang
terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas
dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami
neraka serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami
penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara, atau menderita
dan bahkan dapat menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya.
Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan cubhakarma akan
mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika menjelma kembali akan
mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Di
dalam Weda (S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo mandas,
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
Adapun
perbuatan orang yang bodoh, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma;
setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi binatang, seperti
biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila kelahirannya kemudian
meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara,
diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami
kesenangan.
Sedangkan
orang yang selalu berbuat baik (cubhakarma), Sarasmuccaya menyebutkan:
"Adapun orang yang selalu melakukan karma baik (cubhakarma), ia
dikemudian hari akan menjelma dari sorga, menjadi orang yang tampan
(cantik), berguna, berkedudukan tinggi, kaya raya dan berderajat mulia.
Itulah hasil yang didapatnya sebagai hasil (phala) dari perbuatan yang
baik".
Kesimpulannya,
dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar,
bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia
membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan
sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma
yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu
kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk
meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
Menjelma
menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena
ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati
berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya
dapat menjelma menjadi manusia.
Sopanabhutam Swargasya,
manusyam prapya durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya,
pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi
manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan
tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak
jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Diantara
semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk yang
utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur
perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu
seseorang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia.
Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia
sekalipun manusia hina.
Itulah
sebabnya, maka seorang hendaknya dapat menghargai dan menggunakan
kesempatan yang amat berharga ini untuk membebaskan diri dari
kesengsaraan dan menuju pada kebahagiaan yang abadi yang sisebut Moksa
atau kelepasan. Memang sungguh disayangkan, apabila kesempatan yang baik
ini berlalu tanpa makna. Kelahiran manusia dikatakan berada
ditengah-tengah antara sorga dan neraka. Jika kebajikan yang diperbuat
maka tentulah hidupnya akan meningkat, tetapi jika dosa yang dilakukan,
sudah pastilah akan jatuh ke neraka. Jadi setiap kali kelahiran sebagai
manusia patutlah digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hidup ke
jenjang yang lebih mulia dan luhur.
Percaya adanya Moksa
Dalam
Weda disebutkan: "Moksartham Jagadhitaya ca itu dharma", maka Moksa
merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa ialah kebebasan dari keterikatan
benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman danri pengaruh
maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang
Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan
kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda.
Orang
yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi kedunia, karena tidak ada
apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Paramatman. Bila air
sungai telah menyatu dengan air laut, maka air ungai yang ada di laut
itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada perbedaan lagi antara air
sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya, Atman yang mencapai
Moksa. Ia akan kembali dan menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman.
Bahunam janmanam ante,
jnanavan mam prapadyate,
vasudevah sarvam iti,
sa mahatma sadurlabhah. (Bh. G. VII. 19)
Pada
banyak akhir kelahiran manusia, orang yang berbudi (orang yang tidak
lagi terikat oleh keduniawian) datang kepada-Ku, karena tahu Tuhan
adalah sealanya; sungguh sukar dijumpai jiwa agung serupa itu.
Mam upetya punarjanma
duhkhata yam asasvatam,
na pnuvanti mahatmanah,
samsiddhim paramam gatah. (Bh. G. VIII.15)
Setelah
sampai kepada-Ku, mereka yang berjiwa agung ini tidak lagi menjelma ke
dunia yang penuh duka dan tak kekal ini dan mereka tiba pada
kesempurnaan tertinggi.
Di
samping setelah di dunia akhirat, Moksa juga dapat dicapai semasa
hidup didunia ini, namun terbatas kepada orang-orang yang sudah bebas
dari keterikatan duniawian dan pasang surut serta duka-dukanya
gelombang hidup. Sebagaimana halnya Maharsi yang telah bebas dari
keinginan-keinginan menikmati keduniawian dan bekerja tanpa pamerih
untuk kesejahteraan dunia. Moksa semasa hidup disebut dengan "Jiwan
Mukti".
Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Depag)
Disusun oleh Anak Agung Gde Oka Netra